Globalisasi dan Kesejahteraan

Pascaperang dingin, dengan bubarnya Uni Soviet pada 1991, kapitalisme semakin menunjukkan diri sebagai pemenang. Peristiwa ini mendorong laju globalisasi lebih cepat. Negara-negara pun semakin terintegrasi dalam satu system perekenomian yang didominasi pasar bebas asar bebas begitu dominan, yang membuat peran Negara mengecil.

Interdependensi, interkoneksitas, dan integrasi Negara (masyarakat) semakin dominant dalam hubungan antarnegara. Bahkan kerap tercipta ketergantungan yang cenderung berjalan sangat timpang, di mana salah satu negara sangat bergantung pada negara lain.

Negara bangsa juga tak lagi menjadi aktor tunggal dalam ekonomipolitik internasional. Perannya telah digantikan oleh aktor-aktor baru yang bernaung di bawah bendera lembaga- lembaga internasional, perusahaan-perusahaan multinasional, ataupun negara-negara kawasan. Kekuatan aktor-aktor baru tersebut kadang melebihi kedaulatan negara bangsa dan mereka dapat memaksakan arah kebijakan politik, ekonomi, dan perdagangan suatu negara.

Negara-negara maju dengan paham kapitalisnya berpandangan bahwa globalisasi sebagai pendorong gelombang demokrasi di Dunia Ketiga mampu menghadirkan kesejahteraan dan memangkas kesenjangan. Benarkah demikian?

Kekuatan Kapitalisme
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Selama ini demokrasi diyakini sebagai system pemerintahan terbaik dibandingkan sistem lainnya, seperti monarki, otokrasi, dan otoritarianisme. Tujuan akhir demokrasi hakikatnya ialah dapat menghadirkan kesejahteraan yang merata dan kemandirian suatu bangsa (otonom).

Menurut Linz dan Stepan, demokrasi memiliki sejumlah nilai-nilai, yakni (1) Kebebasan hukum atas dasar pertimbangan hak-hak dasar manusia, (2) Terdapat persaingan bebas serta minimnya tingkat kekerasan di antara para pemimpin (elite) untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, (3) Ketaatan terhadap hukum yang berlaku sebagai kesepakatan bersama.

Sedangkan globalisasi adalah liberalisasi pasar dan perdagangan bebas. Globalisasi diyakini dapat memberikan ruang bagi kegiatan ekonomi yang lebih luas dan kompetitif. Globalisasi da pat memberikan harapan tumbuhnya perekonomian suatu negara agar menjadi lebih baik, serta meningkatkan kesadaran hak-hak individu.

Paham ini tentu saja hanya cocok bagi negara-negara maju dengan keunggulan kompetitif, dengan model perekonomian yang mengandalkan industri yang berorientasi ekspor, dan substitusi impor. Dengan demikian privatisasi dan liberalisasi sebagai dampak dari globalisasi ditangkap sebagai peluang untuk mengembangkan potensi ekonominya dengan memangsa perekonomian negara lain yang tidak punya keunggulan kompetitif.

Dalam era demokrasi liberal ini, sesungguhnya kebijakan pemerintahan dikontrol kekuatan kapitalisme, bukan rakyat. Rakyat yang telah memberikan aspirasinya dalam pemilu laksana memberikan cek kosong kepada kaum elite politik, di mana orientasi kebijakan elite politik tidak didasari oleh kehendak rakyat, melainkan kepentingan kapitalisme.

Krisis Demokrasi
Ke depan, kita akan menghadapi krisis demokrasi di mana kehendak rakyat sebagai penentu arah perjalanan bangsa ke depan tereduksi oleh kekuatan kapitalis. Akhirnya demokrasi liberal dengan paham kapitalis hanya akan menghamburkan uang rakyat dan melahirkan kesenjangan sosial, dan menghadirkan ketergantungan yang tidak berimbang antara negara maju dengan negara ketiga, antara individu dengan individu.

Bila ini digunakan sebagai kriteria keberhasilan demokrasi, dapat dikatakan bahwa globalisasi justru menghadirkan krisis demokrasi. Globalisasi tidak mampu menghadirkan kesederajatan atau ketimpangan distribusi pendapatan, dan terjadi pembelokan kehendak rakyat. Kondisi inilah yang berlangsung di negara-negara Dunia Ketiga.

Jika benar globalisasi dapat menghadirkan kesejahteraan dan memangkas kesenjangan mengapa jutaan orang di dunia hidup dalam kemiskinan, khususnya di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Afrika, dan negara-negara di belahan dunia lainnya.

The United Nation Development Program (UNDP) melaporkan, sebanyak 20% orang-orang kaya dari seluruh penduduk dunia menikmati 86% sumber daya dunia, sedangkan sebanyak 80% kaum miskin dari seluruh penduduk dunia hanya mendapatkan 14% saja. Lebih dari 50% penduduk dunia atau 2,8 miliar manusia di planet bumi ini hidup kurang dari US$ 2, dan 1,3 miliar manusia di bumi hidup dengan uang kurang dari US$ 1. Sedangkan seperlima penduduk bumi menikmati 80% dari penduduk dunia (The Independent, 18 Maret 2002).

Wajar jika pemenang Nobel Ekonomi 2003, Joseph E Stiglitz, dalam Globalization and its Discontents (2002) mengkritik dengan mengatakan, “Untuk jutaan penduduk dunia, globalisasi tidak bermanfaat. Bahkan, sebagai akibat globalisasi jutaan orang hanya bisa menatap tanpa daya ketika sumber kehidupan mereka terancam dihancurkan dan masa depannya diobrak-abrik.”

Globalisasi yang mengusung kapitalisme sesungguhnya tidak sejalan dengan demokrasi. Globalisasi dan perdagangan bebas yang sedang terjadi dikhawatirkan justru akan mengancam demokrasi itu sendiri, dan melahirkan krisis demokrasi. Petros dan Veltmeyer, mengemukakan demokrasi merupakan produk dari gerakan rakyat dan perjuangan kelas, bukan dari globalisasi (Budi Winarno, 2007).

Demokrasi menuntut kesetaraan, karena itu peran negara sangat dibutuhkan. Sedangkan globalisasi mengusung mekanisme pasar sebagai pengatur. Peran negara menghilang. Faktanya, antara negara maupun antara individu tidak berada dalam kondisi yang setara. Akibatnya, yang kuat memangsa yang lemah, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin terkapar dalam kemiskinannya.